Sejak
masa Hipocrates (460-370 SM) yang dikenal sebagai “Bapak Ilmu
Kedokteran”, belum dikenal adanya profesi Farmasi. Saat itu seorang
“Dokter” yang mendignosis penyakit, juga sekaligus merupakan seorang “Apoteker”
yang menyiapkan obat. Semakin berkembangnya ilmu kesehatan masalah
penyediaan obat semakin rumit, baik formula maupun cara pembuatannya,
sehingga dibutuhkan adanya suatu keahlian tersendiri. Pada tahun 1240 M,
Raja Jerman Frederick IImemerintahkan
pemisahan secara resmi antara Farmasi dan Kedokteran dalam dekritnya
yang terkenal “Two Silices”. Dari sejarah ini, satu hal yang perlu
digarisbawahi adalah akar ilmu farmasi dan ilmu kedokteran adalah sama.
Awal mula Kelahiran Ilmu Farmasi
Farmasi (bahasa Inggris: pharmacy, bahasa Yunani: pharmacon,
yang berarti : obat) merupakan salah satu bidang profesional kesehatan
yang merupakan kombinasi dari ilmu kesehatan dan ilmu kimia, yang
mempunyai tanggung-jawab memastikan efektivitas dan keamanan penggunaan
obat. Ruang lingkup dari praktik farmasi termasuk praktik farmasi
tradisional seperti peracikan dan penyediaan sediaan obat, serta
pelayanan farmasi modern yang berhubungan dengan layanan terhadap pasien
(patient care) di antaranya layanan klinik, evaluasi efikasi dan keamanan penggunaan obat, dan penyediaan informasi obat. Kata farmasi berasal dari kata farma (pharma). Farma merupakan istilah yang dipakai pada tahun 1400 - 1600an.
- Claudius Galen (200-129 SM) menghubungkan penyembuhan penyakit dengan teori kerja obat yang merupakan bidang ilmu farmakologi.
- Hippocrates
(459-370 SM) yang dikenal dengan “bapak kedokteran” dalam praktek
pengobatannya telah menggunakan lebih dari 200 jenis tumbuhan.
- Ibnu
Sina (980-1037) telah menulis beberapa buku tentang metode pengumpulan
dan penyimpanan tumbuhan obat serta cara pembuatan sediaan obat seperti
pil, supositoria, sirup dan menggabungkan pengetahuan pengobatan dari
berbagai negara yaitu Yunani, India, Persia, dan Arab untuk menghasilkan
pengobatan yang lebih baik.
- Paracelsus
(1541-1493 SM) berpendapat bahwa untuk membuat sediaan obat perlu
pengetahuan kandungan zat aktifnya dan dia membuat obat dari bahan yang
sudah diketahui zat aktifnya
- Johann
Jakob Wepfer (1620-1695) berhasil melakukan verifikasi efek farmakologi
dan toksikologi obat pada hewan percobaan, ia mengatakan :”I pondered at length, finally I resolved to clarify the matter by experiment”. Ia
adalah orang pertama yang melakukan penelitian farmakologi dan
toksikologi pada hewan percobaan. Percobaan pada hewan merupakan uji praklinik yang sampai sekarang merupakan persyaratan sebelum obat diuji–coba secara klinik pada manusia.
- Institut
Farmakologi pertama didirikan pada th 1847 oleh Rudolf Buchheim
(1820-1879) di Universitas Dorpat (Estonia). Selanjutnya Oswald
Schiedeberg (1838-1921) bersama dengan pakar disiplin ilmu lain
menghasilkan konsep fundamental dalam kerja obat meliputi reseptor obat,
hubungan struktur dengan aktivitas dan toksisitas selektif. Konsep tersebut juga diperkuat oleh T. Frazer (1852-1921) di Scotlandia, J. Langley (1852-1925) di Inggris dan P. Ehrlich (1854-1915) di Jerman.
Carilah nama penulis KH Muhammad Sholikin di sejumlah toko buku.
Berbekal nama itu, beberapa judul buku dari sejumlah penerbit mudah
ditemukan di rak-rak buku.Begitu juga ketika browsing di toko buku online,
karya intelektual pengasuh Baitut Ta’lim Pedut, Wonodoyo, Cepogo,
Boyolali ini banyak menghiasi daftar buku yang ditawarkan salah satunya
di situs BukaBuku.com dan Gramedia.com.
Ayah tiga anak, Alfina Nurul ‘Ayni, Ailsa Calya Kasyfatul Mahjubiyah
dan Abdurrahman Muhammad Syauqi ini dikenal sebagai seorang penulis.
Tidak hanya buku, karya tulis ilmiah karya Sholihin juga banyak
berserakan di jurnal ilmiah nasional seperti Jurnal Ilmu Dakwah, Jurnal Dewaruci dan Jurnal Studia Islam. Begitu juga dengan karya opininya menghiasi berbagai media massa surat kabar maupun majalah.
Produktivitasnya dalam menulis itu pula yang membuat ia terpilih
bersama 26 penulis nasional lain yang diundang sebagai pembicara dalam
acara Festival Penulis dan Kebudayaan Borobudur yang akan dihelat Oktober mendatang.
“Di sana saya akan berbicara tentang kontroversi Walisanga dalam sastra dan agama,” terangnya membuka pembicaraan dengan Espos, di rumahnya di Boyolali, Kamis (2/8).
Menjadi pembicara dalam forum diskusi maupun seminar regional,
nasional dan internasional hanyalah satu dari banyaknya aktivitas yang
dijalani suami Ni’matul Masfufah ini. Hari-harinya banyak dihabiskan
untuk membina jemaah dan masyarakat di desanya serta mengasuh berbagai
majelis pengajian di berbagai tempat seperti di Pengajian Bani Adam
serta memberi pelayanan dakwah Islam di Boyolali, Solo, Semarang dan
sekitarnya. Berdakwah seperti menjadi hal yang tidak bisa dipisahkan
dari Sekretaris Tanfidziyah Nahdlatul Ulama (NU) Boyolali ini.
“Selama Ramadan, saya fokus di rumah mengisi pengajian di Baitut
Ta’lim mengajar tafsir dan fikih,” katanya yang mengaku menolak ditawari
jabatan redaktur pelaksana di sebuah harian nasional baru-baru ini.
Berdakwah di desa diakui Sholikhin memberi kesan tersendiri baginya.
Ia bahkan mampu merangsang jemaah di desanya untuk aktif bertanya.
Padahal, sebelumnya hampir semua jemaahnya tidak berani bertanya kepada
ustaz karena berbagai alasan seperti malu dan rikuh. Alhasil, pengajian
pun hanya dilakukan satu arah.
“Dari dulu saya selalu membuka pengajian interaktif tapi baru pada
2008, jemaah berani bertanya. Saya sengaja membahas materi pengajian
agak mengambang supaya mereka berani bertanya seperti hukum Alquran di handphone itu mengusik pikiran mereka,” ujarnya.
Menurutnya, dengan menggelar pengajian interaktif, dirinya bisa lebih
maju dan ilmu semakin berkembang. Semakin banyak jemaah yang bertanya
semakin memacunya untuk belajar memperkaya ilmu terutama ketika ada
pertanyaan yang belum diketahui jawabannya.
“Saya sering mendapat ilmu tinggi dari orang awam, mereka kerap
mengajukan pertanyaan tak terduga. Saat ini saya juga berdakwah di kota,
kadang saya mempertemukan orang dari kota ke desa,” ujarnya.
Cairnya gaya pengajian yang disampaikan Sholikhin menarik banyak
jemaah dari lintas aliran keagamaan. Selama ini, ia selalu mengedepankan
pembahasan materi dari berbagai sudut pandang dan mazhab serta
menekankan ukhuwah Islamiyah, Islam agama rahmat dan mengajarkan untuk
tidak fanatisme berlebihan terhadap suatu aliran, apalagi saling
mengafirkan.
“Umat Islam saat ini dipusingkan oleh hal primer misal terjebak pada
bidah, kunut atau jumlah rakaat Salat Tarawih, padahal Rasulullah tidak
pernah menentukan jumlah rakaat Tarawih. Yang sebaiknya dilakukan adalah
memupuk dialog antarmazhab dan aliran karena kita sudah jauh dari
generasi Nabi,” terangnya.
Jemaah Sholikhin juga datang dari penjuru daerah di Tanah Air
seperti warga Ibukota Jakarta yang datang untuk menimba ilmu seperti
ilmu tarekat yang selama ini jadi tema buku-bukunya. Menurutnya, tren
orang kota yang menekuni dunia sufi sejak 1990-an terjadi karena mereka
jenuh kemodernan dan harta yang tidak menjanjikan kebahagiaan. Ajang weekend yang digadang-gadang orang Barat dan diikuti orang Indonesia pun hanya menjadi pelarian sesaat tidak memberi kebahagiaan abadi.
“Orang kota kalau bertanya itu sepele tapi sulit dijawab seperti apa kebahagiaan?” tukasnya.
Pertanyaan itu ia jawab dengan balik bertanya kepada jemaahnya seperti, “Hati Anda diisi oleh apa?”
Jika sudah seperti itu, dengan mudah Sholikhin mengajarkan jemaahnya
untuk senantiasa mengisi hati dengan berzikir dan fokus beribadah.
Kepada jemaahnya, alumnus Pondok Pesantren Salafiyah Hidayutul Mubtadin
Salatiga dan The Boarding School of An Nida Salatiga ini menanamkan
kuat-kuat syariat sebelum melangkah mendalami makrifat. Sebab, katanya,
saat ini banyak orang yang keliru menerapkan ajaran sufi dan konsep Manunggaling Kawula Gusti yang diajarkan Syekh Siti Jenar.
“Ajaran itu bukan berarti Tuhan menyatu dalam diri manusia sehingga
ada yang menganggap dirinya tidak perlu salat. Zat Allah itu tidak bisa
menyatu dalam diri manusia tapi kalau sifat dan asmanya Allah bisa
merasuk dalam jiwa manusia,” tegasnya.